Kamis, 24 Februari 2011

Kemenangan 2014 : Antara Kader, Simpatisan dan Konstituen


Menarik bila akan membicarakan bagaimana nanti pileg dan pilpres di tahun 2014 mendatang. Apalagi SBY tidak memungkinkan lagi untuk maju sebagai presiden, maka pertempuran di arena Pilpres akan jauh lebih meriah dan melelahkan. Karena setiap kandidat akan memulai dari awal semua guna memenangkan pertempuran ini.

Bagaimana dengan PKS?

Terkait degan calon yang akan didukung oleh PKS, secara resmi memang belum diumumkan. Namun nama-nama seperti Hidayat Nur Wahid dan Sultan Hamengkubuwono X mempunyai kans besar untuk masuk di dalam bursa balonpres (bakal calon presiden). Tentu akan ada mekanisme internal partai yang akan mengaturnya.

Sekarang adalah waktunya bekerja. Bekerja untuk Indonesia!

PKS adalah partai kader. PKS terdiri dari barisan kader yang terhitung masih solid dibanding partai-partai lain, walaupun dari segi dana mungkin kalah jumlah dari partai-partai besar lainnya. Namun militansi kader PKS semua mengakuinya. Nah, menyongsong kemenangan tahun 2014 mendatang, akan banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Terutama menyangkut pembinaan dan pemeliharaan terhadap kader, simpatisan dan konstituen PKS.

Saya menemukan definisi menarik tentang kader, simpatisan dan konstituen PKS yang saya ambil dari sebuah milis yang membahas tentang PKS. Berikut tulisan dari anggotanya yang bernama Yusuf Caesar, sangat bagus untuk menjadi renungan. Oiya, beberapa bagian yang saya anggap sensitif, tidak saya tampilkan.


Kader
Orang yang secara formal terdaftar sebagai anggota PKS dan mengikuti proses pengkaderan di dalamnya. Secara terikat, merekalah yang menggerakan roda organisasi partai dan sayap-sayap organisasi partai. Saat ini komposisinya berkisar 500-2000 orang saja per DPD. Dihitung secara nasional, populasinya diperkirakan hanya 300 ribu - 400 ribu orang.

Hanya sedikit dari kalangan kader yang memiliki kendali terhadap kelompok di bawahnya, yaitu simpatisan. Diperkirakan hanya 10% kader yang menjadi kader inti, yang memiliki kendali terhadap 10-15 orang simpatisan.

Simpatisan
Orang yang pernah bersentuhan dengan Jamaah Tarbiyah, mengagumi manhajnya, terkesima dengan indahnya ukhuwah di dalamnya, namun tidak terikat dengan kerja-kerja organisasi partai. Secara tidak terikat, mereka mendorong masyarakat memilih PKS, mendukung kerja-kerja PKS yang bersifat insidental. Jumlahnya diperkirakan 3 - 4 kali lipat jumlah kader.

Separuh dari jumlah simpatisan diperkirakan masih dalam kendali kader-kader PKS dalam forum-forum halaqoh atau komunitas pengajian tidak terikat. Seperti kelompok halaqoh yang berisi kalangan profesional (pengacara, dokter, bankir dan manager perusahaan) yang sama sekali tidak pernah terlibat dalam kerja-kerja PKS.

Tipe sosiologis kalangan simpatisan adalah dari kaum terdidik, perekonomian menengah stabil dan tinggal di perkotaan. Hanya sebagian kecil yang tinggal di pedesaan. Mereka 100% (semuanya) bersikap kritis terhadap PKS dan berani memberontak / menolak kebijakan PKS. Kalangan simpatisan ini sangat rentan keluar-masuk dari PKS. Sulit untuk mengkomunikasikan kepada mereka apalagi menggunakan bahasa "tsiqoh dan taat" semata.

Konstituen
Orang yang memilih PKS dari khalayak umum yang menaruh harapan pada PKS. Total konstituen tergambar dalam perolehan hasil pemili 2009, yaitu sekitar 8 juta-an. Jumlah kader dan simpatisan diperkirakan hanya seperempat dari jumlah konstituen. Separuh dari simpatisan umumnya memegang kendali terhadap 5-10 orang konstituen. Mereka umumnya dari keluarga atau kerabat dekat. Separuh sisanya dari simpatisan hanya memiliki kendali 1-3 orang, kadang tidak memiliki kendali apa-apa.

Diperkirakan setiap kader juga memiliki kendali dengan jumlah kemampuan mengendalikan orang yang bervariatif. Kader yang memiliki halaqoh jelas memiliki kendali yang lebih besar terhadap konstituen daripada kader yang tidak memiliki halaqoh. Diperkirakan hanya 10% - 20% dari konstituen yang tidak memiliki ikatan emosional dengan kader atau simpatisan. Mereka memilih karena melihat PKS dari media televisi, radio dan koran.

Tipe sosiologis kalangan konstituen adalah sangat beragam. Namun mengingat sebagian besar disumbangkan dari peran kerabat dekat atau keluarga simpatisan, maka tipe sosiologisnya tidak jauh berbeda dengan simpatisan. Bedanya mereka kurang kritis, dan tidak terlalu peduli dengan kebijakan PKS. Pilihan politik mereka lebih banyak dikendalikan kader dan simpatisan yang memiliki ikatan emosional. 10% - 20% konstituen yang tidak memiliki ikatan emosional, melihat perilaku PKS dari etalase publik seperti televisi, koran dan obrolan warung kopi.

Menaikkan Suara PKS 2014
1. Meningkatkan jumlah kader yang memiliki halaqoh. Setidaknya 75% kader harus memiliki halaqoh sekurang-kurangnya 1 kelompok yang berisi 8-10 orang. Saat ini, diperkirakan hanya 10% dari kader yang memiliki halaqoh, dan 1 juta simpatisan. Jika hitungan ini terpenuhi, diperkirakan akan ada 2,5 juta simpatisan, dan 8 juta konstituen yang memiliki ikatan emosional dengan PKS. PKS tinggal mencari 8 juta suara lagi dari konstituen yang tidak memiliki ikatan emosional. 15% suara, Insya Allah akan diperoleh. Jumlah suara konstituen yang memiliki ikatan emosional dengan yang tidak memiliki ikatan emosional diupayakan seimbang.

2. PKS harus meningkatkan kemampuan komunikasi massa kader-kadernya, sehingga mengurangi jumlah simpatisan yang terpental. Di wilayah etalase publik, komunikasi massa juga diperlukan untuk berbicara dengan calon konstituen yang tidak memiliki ikatan emosional. Gaya komunikasi kader-kader PKS ini sangat payah, dan cenderung mengajak "berkelahi" simpatisan, konstituen dan umat islam lainnya.

3. Bersahabatlah dengan media. Jangan memusuhi media! Kader-kader PKS menyadari peran media yang besar dalam membangun citra informasi kepada publik, namuan kader PKS umumnya cenderung memusuhi media, dan membangun jejaring media sendiri. Jejarang media yang dibangun kader hanya akan efektif untuk kalangan kader sendiri dan sebagian simpatisan. (*)

Referansi :
1. Islam-kucinta.blogspot.com

PKS Bekerja untuk Indonesia

Munajat Nasional bersama Kyai Kanjeng pimpinan Emha Ainun Najib
Teman-teman dari Palembang sudah berangkat ke Jogja sejak Selasa (22/2) untuk mengikuti Mukernas PKS di Jogja. Dan baru malam ini (24/2), secara resmi rangkaian Mukernas dibuka. Sebagaimana dikutip dari detik, Mukernas dihadiri oleh kurang lebih 3.500 kader PKS seluruh Indonesia. Duh, kebayang betapa ramai dan membludaknya. Andai saya bisa berada di sana saat ini... Pasti saya akan menghilang di bagian Exponya saja. He-he...

Oiya, tema Mukernas kali ini adalah PKS Bekerja untuk Indonesia. Tidak terlalu asing, karena di kota saya sendiri jargon itu sudah disosialisasikan melalui konten lokal, PKS bekerja untuk Palembang. Kegiatan Mukernas ini sendiri dilaksanakan di Ballroom Hotel Sheraton Yogyakarta. Dan tentu saja dihadiri oleh para punggawa dan pembesar PKS seperti Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq dan Sekjen PKS Anis Matta, serta seluruh anggota DPR yang merupakan kader PKS dan Ketua DPW dan DPD PKS se-Indonesia, serta anggota dewan dari provinsi dan kabupaten/kota.

Termasuk juga Menteri Sosial Salim Segaf Al jufri, Menkominfo Tifatul Sembiring, dan Menristek Suharna Suryapranata. Dan juga Ketua Dewan Syuro PKS Hilmi Aminuddin, Ketua Majelis Pertimbangan Pusat Untung Wahono, Ketua Dewan Syariah Pusat Surahman Hidayat, serta Hidayat Nur Wahid. Yang istimewa, kehadiran Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X.

Harapan saya sih, selain bisa berguna sebagai sarana rihlah bagi kader dan simpatisan yang datang dari berbagai penjuru, kegiatan ini dapat menghasilkan arah kebijakan baru bagi perkembangan PKS ke depan. Terutama masterplan kebijakan terkait partisipasi setiap kader dan aleg dalam pembenahan birokrasi di negeri ini. Tentang siapa capres yang akan diusung pada hajatan pilpres 2014 nanti, jangan sampai mengalahkan kepentingan orang banyak.

Konstituen PKS, termasuk saya, sangat berharap PKS bisa kembali perkasa seperti saat masih bernama PK. Jangan loyo oleh kepentingan sesaat yang akhirnya mengaburkan arah perjuangan sendiri. Hidup PKS! (Saatnya) PKS Bekerja untuk Indonesia !

Indonesia itu Satu

devianart.net

Ada yang masih ingat isi sumpah pemuda?
Bagus, ternyata kita semua tidak lupa dengan isinya. Beruntung, saat itu para pemuda juang bisa memilihkan kata-kata yang bagus, sederhana dan mudah diingat untuk dijadikan teks Sumpah Pemuda. Dan untuk sekedar mengingatkan kembali, inilah susunan isinya lengkap dengan ejaan tempo doeloe :


Isi Sumpah Pemuda
 
PERTAMA
Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, 
Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah Indonesia.

KEDOEA 
Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, 
Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa Indonesia.
 
KETIGA 
Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, 
Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia.

Pertanyaanya, sejauh mana dari ketiga isi Sumpah Pemuda tersebut yang sudah kita amalkan?

Benarkah tanah kita satu, Indonesia? 
Berapa banyak di antara kita yang lebih suka berada di luar negeri alih-alih berada di tanah sendiri. Memikirkan jalan keluar agar Jakarta tidak menjadi neraka kemacatan? Agar anak-anak di pelosok bisa pula merasakan kemegahan berlibur di Dufan atau Ancol secara murah? Agar tidak ada lagi remaja yang menjadi korban penculikan?

Benarkah bangsa kita satu, Indonesia?
Mengapa kita membiarkan anak bangsa kita terjajah oleh bangsa lain, di sana, di luar negeri sebagai pembantu rumah tangga? Atau di sini, bangsa kita menjadi kuli dari perusahaan asing, tanpa bisa menyerap ilmu pengetahuan dan teknologi dari mereka?

Dan, benarkah kita mempunyai bahasa yang satu, Bahasa Indonesia?
Seberapa bangga anda kini mempraktekkan bahasa Indonesia dengan baik dan benar? Di SMS, di Facebook, di Twitter, di postingan forum, berkomentar. Dan seberapa banyak kalian mengenal kata asli Bahasa Indonesia dibanding kata serapan dari bahasa asing?

Silahkan jawab!  

Indonesia itu Rumah PKS

google.com
Ibarat rumah, hubungan PKS dan Indonesia adalah hubungan penghuni rumah dengan rumah itu sendiri. PKS lahir tahun 1998 sedangkan Indonesia tahun 1945. Bangunan konstitusional Indonesia telah berdiri kokoh saat PKS lahir. Dengan demikian, PKS selaku penghuni rumah yang baik, ikut serta menjaga bersama penghuni rumah yang lain.

Namun yang namanya rumah bersama, maka akan banyak ditemui kelakuan penghuninya yang justru malah cenderung abai dengan usaha menjaga kenyamanan rumah tersebut. Bahkan malah ada yang ingin merusak tatanan yang sudah berlaku di rumah tersebut. Merubah pondasi dasar, berarti sedikit banyak akan menggoyang kekokohan rumah dan stabilitas para penghuni yang ada di dalamnya. Dan PKS menyadari hal tersebut. Termasuk juga dalam mempertahankan halaman rumah, dari ulah jahil. Baik tetangga maupun orang asing. Itulah rumah yang bernama NKRI. Dan Indonesia adalah rumah bagi PKS.

Hidayat Nur Wahid, salah satu tokoh PKS yang banyak dinilai berhasil memimpin PKS selama dua periode, pernah berujar. Pancasila dan NKRI adalah kesepakatan final bangsa Indonesia. Begitu pula dengan UUD 1945. Artinya, dasar Pancasila dan keutuhan NKRI adalah final, tak bisa ditawar-tawar lagi. Upaya untuk menggoyang Pancasila dan menyerobot wilayah yang masuk ke dalam wilayah NKRI merupakan pelanggaran yang serius.

Lantas, kontribusi seperti apa yang dapat diberikan oleh seorang kader PKS untuk rumah besar beranama Indonesia? Banyak. Dan salah satunya yang paling utama itu adalah Jangan Korupsi! Walaupun itu cuma membawa pulang selembar kertas di kantor...

Mengapa saya memilih PKS?

Google.com
Tidak banyak yang tahu, bahwa saya telah memilih PKS, jauh sebelum saya sendiri tahu apa itu PKS.

Begini ceritanya.

Pemilu tahun 1997, saya masih berumur 15 tahun. Baru kelas 1 SMA. Sudah pasti dengan umur segitu, saya belum mempunyai hak suara. Namun, saya antusias datang dan melihat kesibukan yang berlangsung di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Seru juga melihat acara pemungutan tersebut. Terbetik dalam hati, alangkah hebat bila saya bisa merasakan masuk ke dalam bilik suara dan dengan gagah ikut mencoblos serta memasukkannya ke kotak suara.

Dasar nasib, aksi reformasi meledak di tahun 1998 yang diikuti kerusuhan sosial di beberapa kota besar. Tapi tidak termasuk di tempat kelahiran saya, Sekayu -- sekitar 124 km Utara kota Palembang. Presiden Soeharto yang telah memimpin selama 32 tahun, dipaksa lengser dari tahtanya. Pemilu legislatif segera digelar di tahun 2009. Dan kali ini karena sudah masuk umur 17 tahun, saya pun ikut berpartisipasi dengan gembira.

Di hari pencoblosan, dengan sumringah nan jantan, saya melenggang ke bilik suara, mencoblos, memasukkan kertas ke kotak suara dan momen yang paling saya tunggu dan baru kali ini terjadi, mencelupkan jari ke tinta. Bila yang lain, malu-malu sekedar mencolek tinta yang ada di tutup botol. Saya malah mencelup jari tengah langsung di botolnya hingga setengahnya! Alasannya sekedar lucu-lucuan saja, nanti bila ada yang bertanya mana bukti hasil mencoblos, dengan gaya rocker akan saya ancungkan jari tengah ke mukanya, nihhh! (Terinspirasi salah satu adegan film Mr Bean dulu..)

Oh ya sampai lupa, ngemeng-ngemeng waktu itu saya memilih tiga jenis gambar partai yang berbeda, untuk setiap tingkatnya. Tapi saya tidak ingat, mana yang Pusat, Provinsi, atau yang Kabupaten. Tapi ketiga partai yang saya pilih itu PKNU, PBB dan tentu saja Partai Keadilan (PK). Alasannya? Karena semuanya Islam, itu saja. Tapi sayang, suara saya tidak mampu menyelamatkan PK dari perangkap Electoral Treshold (ET). Dan PK harus bersalin-rupa menjadi PK Sejahtera.

Nah, pemilu tahun 2004 saya duduk di bangku kuliah. Mulai berinteraksi dengan anak-anak Mushala yang dikenal dengan sebutan ikhwan-akhwat. Kali ini saya mantap dalam memilih PKS, karena jargon waktu itu yang dibawa begitu mengena dan semangat keislaman saya masih begitu kental, Bersih dan Peduli. Belum lagi kisah-kisah heroik para anggota dewan yang berasal dari PK di penjuru nusantara dalam membongkar korupsi. Saya pun ikut direct selling membantu sosialisasi caleg dari PK.

Tahun 2009, saya tetap memilih PKS walaupun sudah tidak terlibat seaktif dahulu. Alasan saya tetap memilih PKS, karena tidak ada partai lain yang labih baik darinya. Bukan berarti PKS tidak ada cacatnya. Tapi memilih yang terbaik di antara yang buruk, begitu istilah saya. Mereka bukanlah partai yang berisikan malaikat. Mereka tentu ada kelirunya dalam ijtihad politik. Dan bagi saya itu wajar-wajar saja. Alasan kedua, karena beberapa kawan kuliah saya dahulu, sudah ada yang terjun sebagai calon anggota legislatif. Dan saya berkewajiban memuluskan langkah mereka masuk ke gedung dewan. Tapi sekali lagi, sumbangan satu suara saya dan istri, ternyata tidak cukup membantu langkah mereka.

PKS, dengan kondisimu sekarang, tetap saya tunggu gebrakan mu dalam menuntaskan korupsi yang telah kronis di negri ini. Rindu hati ini melihat keheroikan para alegnya dalam menyuarakan semangat anti korupsi. (*)

Rabu, 23 Februari 2011

PKS Partai Inklusif?

Wacana PKS sebagai partai inklusif sudah lama terdengar. Terutama di kalangan internal kader. Namun, sejak Munas ke-2 PKS tahun 2010 lalu, secara resmi diumumkan bahwa PKS telah menjadi partai yang terbuka (Inklusif). 

Terius Yigibalom
Bahkan jauh sebelumnya, beberapa orang kader PKS berasal dari non muslim. Salah satunya adalah 
Terius Yigibalom, pengurus DPD PKS Kabupaten Lanny Jaya, Papua. Terius mengaku bergabung dengan PKS sejak tahun 2008 lalu. Sebelumnya, dia pernah menjadi pengurus Partai Kristen Indonesia dan Partai Karya Peduli Bangsa. Menurutnya, PKS punya satu ciri khas, kadernya militan dan peduli. Setiap ada bencana pasti PKS yang turun pertama ke lapangan. 

Dia menuturkan jatuh bangun perjuangan mengenalkan PKS ke warga yang mayoritas beragama nasrani. Pendekatannya adalah lewat pengenalan bahwa partai ini bukan partai Islam. Hasilnya, dua kursi DPRD Lanny Jaya diraih PKS. "Kadernya sudah 5 ribu orang," tutup Terius.

Sedangkan menurut Anis Matta, Sekjen PKS, akomodasi nonmuslim sudah diatur dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga partai. Di situ, kata dia, keanggotaan nonmuslim sudah diatur. Mereka bisa masuk di jabatan publik dan kepengurusan partai.

Mereka pun bisa terus menapaki karier politik di PKS hingga struktur atas. “Asalkan bisa mengikuti prosedur (kurikulum) itu semua,” ujar Anis. Syarat akomodasi nonmuslim itu dilakukan dari sisi kewarganegaraan. Meski ruang akomodasi telah dibuka luas, PKS mengaku format akomodasi ini masih harus didiskusikan. Karena itu pula akomodasi akan dilakukan secara gradual.

Sementara itu, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaq menegaskan kepengurusan di tubuh partai tetap diatur secara proporsional tanpa membedakan antara Islam maupun non Islam.

"Itu proporsional dan itu kita serahkan pada kawan-kawan di daerah yang bisa menentukan secara proporsional dan demokrasi mengikuti apa yang menjadi suara kawan-kawan di daerah," katanya, di Jakarta, ditemui setelah menyampaikan pidato kebudayaan di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki.

Menurut Luthfi, PKS tidak berkeberatan jika dalam kepengurusan terdapat orang-orang selain beragama Islam. "Kalau memang di daerah, orang Islam minoritas, kami tidak keberatan kalau kepengurusan bukan dari orang Islam meskipun kita partai Islam," katanya. (*)

Eksklusifisme dan Inklusivisme, perlukah dipertentangkan?

cuplik.com
Indonesia adalah Negara majemuk. Di dalamnya banyak sekali suku, bahasa, adat-istiadat, budaya dan bahkan aliran agama di belakangnya. Dengan kenyataan seperti itu, apakah masih pantas kita mendebat sebuah keniscayaan bahwa bangsa Indonesia berdiri di atas banyak kelompok dan golongan?

Paham Eksklusif
Secara harafiah eksklusif berasal dari bahasa Inggris, exlusive yang berarti sendirian, dengan tidak disertai yang lain, terpisah dari yang lain, berdiri sendiri, semata-mata dan tidak ada sangkut pautnya dengan yang lain. (John M. Echols dan Hasan Shadily, kamus Inggris-Indonesia, cet. VIII, hal.222).

Secara umum eksklusif adalah sikap yang memandang bahwa keyakinan, pandangan pikiran dan diri sendirilah yang paling benar, sementara keyakinan, pandangan, pikiran dan prinsip yang dianut orang lain salah, sesat dan harus dijauhi.

Fenomena yang terjadi dalam masyarakat Indonesia adalah ketidakmampuan menerima kemajemukan (pluralisme) baik agama, ras, suku, mazhab, maupun golongan yang hadir di tengah-tengah kita. Keberagaman budaya masyarakat kita menunjukkan bahwa pluralisme di Indonesia sangat tinggi.

Paham Inklusif
Berbeda dari eksklusif di atas, inklusivisme memandang orang dengan lebih arif dan bijak. Orang-orang inklusif itu sangat menghargai adanya pluralisme. Mereka memandang semuanya sama seperti dirinya sendiri. Politik pengafiran tidak berkembang dalam inklusivisme.

Kembali pada konteks Indonesia, realitas menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia belum siap menerima keragaman agama, kemajemukan budaya, ras, suku, dan beragam golongan. Itu menjadi kelemahan kita sebagai negara multikultur. Maraknya pertikaian, permusuhan, diskriminasi, dominasi, dan sebagainya merupakan implikasi negatif dari ketidaksiapan menerima perbedaan itu. (*)

Indonesia itu Bangsa Pekerja Keras

Indonesia adalah bangsa yang suka bekerja keras. Saking sukanya bekerja keras, banyak yang akhirnya memilih bekerja ke luar negeri sebagai TKI, baik sebagai tenaga ahli maupun yang bermodal nekat (non-skill) bahkan tidak jarang menggunakan jalur ilegal.

Semuanya karena tawaran penghasilan yang lebih besar dan menggiurkan. Selain besar, peluang bekerja di luar negeri juga cukup mudah, meskipun hanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Namun, sayang tidak semua dari mereka berhasil sebagai TKI, malah banyak yang pulang hanya tinggal nama dan menyisakan kesedihan bagi keluarga di tanah air.

Tidak, kita tidak sedang membicarakan tentang nasib tragis para TKW. Tapi kita coba menginsyafi sifat kerja keras yang ada dalam jiwa setiap anak bangsa. Mereka juga tidak bekerja di luar negeri. Penghasilan mereka pun masih dalam bentuk rupiah. Bukan dolar, apalagi real. Tapi yang pasti mereka memiliki sifat pekerja keras yang bisa kita teladani.

Sarimah
Salah satunya adalah Sarimah (61). Di usianya yang senja, ia hidup sendirian. Anaknya cuma satu yang tinggal di Palembang. Selebihnya jauh merantau. Sekali dalam sebulan anaknya datang mengantarkan sedikit uang untuk membayar listrik dan keperluan lain. Sehari-hari, untuk menutupi kebutuhan makannya, ia berkeliling menjual sayuran. ”Sejak suami meninggal, aku tinggal di rumah sendirian. Dari jualan sayur itu, saya masih bisa menabung. Andai tidak ada yang berhutang hari itu, mungkin penghasilanku bisa 15 – 20 ribu”, ungkapnya.

Dari uang itulah yang bisa ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Setiap hari ia menjajakan dagangannya dari lorong ke lorong, sejak pukul 7 pagi hingga pukul 10. ”Aku hanya tak ingin merepotkan anak-anakku. Karena mereka sendiri sudah repot dengan kehidupannya masing-masing. Selagi aku bisa menghidupi diriku sendiri, maka aku akan berusaha. Tidak tahu apakah untung atau rugi, tapi yang pasti kalau makan mau bersayur atau berlauk, tidak harus keluar uang lagi. Itu kalau jualannya tidak habis hari itu”. Memang, kadang-kadang jualanan si ibu tidak habis, kadang pula sakit tua tiba-tiba datang, sehingga membuat dia yang lemah pun bertambah lemah. 


Nurbaiti
Ada juga ibu Nurbaiti (46) yang masih setia menjalani hidup sebagai penjual mainan dan makanan anak-anak lebih dari 10 tahun lamanya. Ia berusaha sendiri untuk menghidupi ketiga anaknya setelah suaminya meninggal. Tiap paginya, ia harus mendorong gerobak barang dagangan hingga ke satu SD ditemani anaknya yang sekarang duduk di kelas 6. Berjualan mainan, menunggu anak-anak sekolah membeli dan pulang jam 12-an. Pulang ke rumah hanya untuk shalat dan makan. Setelah itu berlanjut untuk bantu-bantu di rumah orang;  mencuci, setrika pakaian dan lain-lain. 

”Awal jualan hanya ikut mertua, dan tidak terasa sudah 10 tahun saya menjalaninya. Alhamdulillah, ditambah mengambil upahan, saya bisa menghidupi keluarga, tanpa almarhum suami,” ujarnya tegar. Ia mengaku terinspirasi dari kehidupan mertuanya, yang mempu menghidupi ketiga anaknya (iparnya) sampai berhasil, hanya dari jualan mainan. Cita-citanya, tiga orang anaknya bisa berhasil dalam hidupnya. 

Tapsiah
Yang lainnya, ada Tapsiah (43). Ia masih merasa beruntung bisa menekuni pekerjaan sebagai penjahit sarung bantal. Dari pekerjaannya ini, ia bisa menghidupi sembilan orang anaknya dengan dibantu suaminya. Selain harus membuat sarung bantal tiap harinya, ibu Tapsiah juga masih harus menjaga anak bayinya yang masih berusia enam bulan. Tidak hanya menjahit pesanan, tetapi juga untuk dijual sendiri. 

“Kami dak nak neko-neko, alhamdulillah anak-anak juga begitu.”  Dan berharap anak-anaknya bisa hidup layak. ”Anak kami memang banyak. Dan kami yakin itu adalah rizki yang Allah berikan kepada kami. 
Sesekali memang ada yang bertanya, ’Banyak amat anakmu, emang sanggup memelihara semuanya?’ Saya Cuma tersenyum, ’Ya. Yakin saja’, ”tuturnya. Dan katanya, biasanya mereka langsung diam, tidak melanjutkan omongan. Tidak tahu, apakah mereka mengerti dengan jawabannya atau tidak. ”Toh, saya yang menjalani bukan mereka”, ujarnya tersenyum.

Indonesia Itu Religius

Sumber Foto : Google.com/olah grafis : pakdezaki.com

Sejak zaman Orde Baru hingga sekarang hanya ada lima agama dan satu kepercayaan yang diakui oleh negara. Yakni Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Budha, Hindu dan aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (YME). Dan yang terakhir masuklah Konghucu. Perkiraan komposisi pemeluk agama di Indonesia pada tahun 2010, Islam (85,1%), Protestan (9,2%) Katolik (3,5%) Hindu (1,8%) dan Budha (0,4%) dari total 240.271.522 penduduk Indonesia

Dengan banyaknya agama dan aliran yang ada di belakangnya, maka konflik dan pertentangan yang ada di antara para penganutnya, kerap terjadi. Isu agama pun masuk ke dalam isu SARA (Suku, Agama, Ras Antar Golongan) menempati urutan kedua yang tabu dibicarakan setelah pornografi di dunia internet.

Sebagai negara yang besar dengan kemajemukan kepercayaan di dalamnya, seharusnya Indonesia bisa menjadi negara yang lebih sejuk, lebih menentramkan. Karena para warga negaranya semua beragama. Tidak ada tempat bagi kaum atheis di negeri ini.

Yang pasti, Indonesia negara yang beragama - religius, namun bukan negara agama, walaupun penduduknya mayoritas muslim. Menurut Mahfud MD dalam suatu kesempatan, "Karena bukan negara agama, maka kewajiban negara terkait agama adalah melindungi warganya yang memeluk agama". Hukum agama, lanjutnya, hanya menjadi salah satu bahan di dalam penyusunan hukum negara. “Itulah negara kebangsaan religius. Beda dengan negara agama,” katanya.“Sebenarnya, saat ini prinsip Islam sudah sangat mewarnai hukum Indonesia meski tidak diformalkan,” katanya.



Dengan kondisi tersebut, PKS pun tidak eksklusif membatasi keanggotaan partainya hanya kepada muslim. Hal ini pernah dilontarkan oleh Ketua Dewan Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hilmi Aminuddin dalam kesempatan Munas ke-2 PKS, bulan Juni 2010 yang lalu. Bahwa inklusifitas yang dibangun PKS saat ini sebagai bagian dari konsekuensi pelaksanaan ajaran Islam.

Saat ini PKS terbuka untuk menerima kader berasal dari kalangan non-muslim. Hilmi menerangkan, jika sebelumnya PKS bersikap eksklusif, hal itu karena PKS sedang membentuk identitas diri. Dalam pembentukan identitas diri tersebut dibutuhkan proteksi. “Setelah kader-kadernya tersebar, Bismillah kita mulai bergaul dengan yang lain,” kata Hilmi. (*)

------
Referensi :
1. Republika Online
2. Liranews
3. Wikipedia

Indonesia Itu Majemuk

Foto : Google.com
Indonesia itu majemuk, multikultural. Dengan total seluruh pulau berjumlah 17.504 dan 1.128 suku yang tersebar dari Sabang di Barat hingga Merauke (Timur), dari Pulau Miangas di Utara hingga Pulau Rote (Selatan) maka tidak ada alasan untuk mereduksi atau malah menghilangkan salah satunya.

Itulah salah satu kekayaan Indonesia di antara berjuta kekayaan lainnya yang berbentuk fisik. Indonesia memang negara yang prular, dengan segala identitas kemajemukan di dalamnya. PKS menyadari betul akan hal itu. Indonesia terbentuk dari keragaman, PKS sebagai salah satu komponen bangsa yang berjuang melalui politik, tidak bisa mengabaikan begitu saja fakta tersebut.

Maka, sebagai partai politik yang berkeadilan, keseimbangan adalah sesuatu yang mutlak demi menjaga nilai kemajemukan teresebut. Termasuk keputusan PKS untuk tidak identik dengan suku tertentu, budaya tertentu. Namun berusaha masuk ke dalam budaya dan kebiasaan yang berlaku di salah satu wilayah.

Seiring dengan semakin meluasnya eksistensi dan peran PKS, dakwah bersentuhan secara langsung maupun tidak langsung dengan berbagai budaya dan tradisi yang berkembang di masyarakat. Maka diperlukan penyikapan dalam interaksi dengan budaya yang berkembang di Indonesia, khususnya budaya yang bersumber dari selain ajaran Islam. Secara internal, PKS menseriusinya dengan membuat sekaligus mensosialisasikan rambu-rambu (Dhawabith) Syar'iyah tentang budaya lokal. (*)

Postingan Lebih Baru Beranda