Rabu, 23 Februari 2011

Eksklusifisme dan Inklusivisme, perlukah dipertentangkan?

cuplik.com
Indonesia adalah Negara majemuk. Di dalamnya banyak sekali suku, bahasa, adat-istiadat, budaya dan bahkan aliran agama di belakangnya. Dengan kenyataan seperti itu, apakah masih pantas kita mendebat sebuah keniscayaan bahwa bangsa Indonesia berdiri di atas banyak kelompok dan golongan?

Paham Eksklusif
Secara harafiah eksklusif berasal dari bahasa Inggris, exlusive yang berarti sendirian, dengan tidak disertai yang lain, terpisah dari yang lain, berdiri sendiri, semata-mata dan tidak ada sangkut pautnya dengan yang lain. (John M. Echols dan Hasan Shadily, kamus Inggris-Indonesia, cet. VIII, hal.222).

Secara umum eksklusif adalah sikap yang memandang bahwa keyakinan, pandangan pikiran dan diri sendirilah yang paling benar, sementara keyakinan, pandangan, pikiran dan prinsip yang dianut orang lain salah, sesat dan harus dijauhi.

Fenomena yang terjadi dalam masyarakat Indonesia adalah ketidakmampuan menerima kemajemukan (pluralisme) baik agama, ras, suku, mazhab, maupun golongan yang hadir di tengah-tengah kita. Keberagaman budaya masyarakat kita menunjukkan bahwa pluralisme di Indonesia sangat tinggi.

Paham Inklusif
Berbeda dari eksklusif di atas, inklusivisme memandang orang dengan lebih arif dan bijak. Orang-orang inklusif itu sangat menghargai adanya pluralisme. Mereka memandang semuanya sama seperti dirinya sendiri. Politik pengafiran tidak berkembang dalam inklusivisme.

Kembali pada konteks Indonesia, realitas menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia belum siap menerima keragaman agama, kemajemukan budaya, ras, suku, dan beragam golongan. Itu menjadi kelemahan kita sebagai negara multikultur. Maraknya pertikaian, permusuhan, diskriminasi, dominasi, dan sebagainya merupakan implikasi negatif dari ketidaksiapan menerima perbedaan itu. (*)

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda